Rabu, 24 Agustus 2011

ADVOKAT DAN PENEGAKAN HUKUM



Oleh:
SABUR MS, S.H.I., M.H[1]



Advokat atau pengacara meruapakan bagian dari unsur penegakan hukum di Indonesia. Sebagai sub dari penegakan hukum, advokat/pengacara tentunya tidak sekedar terikat pada ketentuan UU Advokat maupun kode etik profesi advokat melainkan terikat juga terhadap ketentuan UU yang berkaitan dengan proses penegakan hukum yang berkeadilan. Sebagai sub penegakan hukum, seperti halnya Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan KPK, seorang advokat dituntut agar bekerja secara profesional. Sebab kegagalan penegakan hukum di Indonesia tidak bisa begitu saja dilimpahkan kepada penegak hukum yang lain sementara para advokat justru cuci tangan seakan tidak ikut terlibat dari semua kegagalan tersebut. Benarkah?

Peran Advokat
Secara substansi peran advokat dalam ikut penegakan hukum di Indonesia tidak jauh berbeda dengan instansi penegak hukum yang lain, iaitu sebagai penegak hukum yang diperankan oleh swasta. Perbedaan kulit (PNS dan Swata) bukanlah perkara substantif untuk dijadikan alasan melainkan bagaimana upaya dan peran yang diamanatkan oleh UU tentang tegaknya keadilan hukum dapat terwujud secara nyata. Perdebatan tentang sebuah Pasal dalam UU merupakan salah satu dinamika ilmiah yang harus di hormati, namun perdebatan harus dilandasi dengan niat yang baik demi untuk mencapai keadilan hukum. Jangan samapi silang tafsir tersebut justru hanya akan dijadikan alasan untuk membelokkan sebuah fakta hukum yang berlindung di ketiak Pasal tersebut. Untuk mengantisipasi hal itu memang tidaklah mudah, terlebih adanya tuntutan dari klien yang selalu ingin dimenangkan sekalipun telah terbukti bersalah. Disamping tuntutan ingin selalu menang dalam segala hal, persaingan antara Advokat dalam menggaet calon klien tentu akan menjadi permasalaha tersendiri, terlebih honor seorang advokat tergantung ada dan tidaknya klien yang ditanganinya. Akhirnya, tidak mustahil bila penanganan perkara tidak lagi mengedepankan keadilan hukum melainkan bagaimana perkara yang ditangani dapat dimenangkan di pengadilan. Dengan demikian, maka timbul stigma di masyarakat sebagai advokat yang lihai. Stigma inilah yang akhirnya akan memberikan “berkah” tersendiri bagi para advokat tersebut.
Tentunya hal tersebut tidak perlu terjadi mengingat profesi advokat adalah profesi mulia yang dilindungi oleh UU. Sebagai profesi mulia tentunya sangat disayangkan bila dikotori dengan hal-hal yang bertentangan dengan harkat dan martabatnya sebagai satu-satunya makhluk alloh yang paling mulia dimuka bumi ini. Untuk itu, para advokat perlu me-revieu dan intropeksi tentang kegagalan penegakan hukum di Indonesia ini. Masih relevankah kegagalan ini terus di identikan dengan Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Kehakiman? Sekalipun masyarakat banyak yang menyalahkan Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Kehakiman, akan tetapi tidak lengkap apabila unsur penegak hukum lain seperti advokat justru tidak di ikutkan. Sebab semua unsur penegak hukum tersebut saling berkaitan dan erat hubungannya terhadap masa depan penegakan hukum yang berkeadilan. Ibaratnya para pengak hukum ini satu badan yang turut saling terkait dalam segala hal, sehingga apapun yang terjadi bisa dikatakan bagian dari hasil kerja kolektifnya.

Jangan Cuci Tangan Dulu
Institusi advokat harus turut bertanggungjawab juga terhadap kesuraman penegakan hukum di indonesia selama ini. Kalau penulis amati, advokat yang mendampingi koruptor lebih kepada bagaimana upaya pembelaan dan pemenangan terhadap klien yang dibelanya. Perdebatan tentang Pasal dalam UU tidak lagi mengedepankan aspek ilmiah melainkan bagaimana argumentasi yang dibuat dapat memberikan pengaruh terhadap dukungan opini publik kepadanya. Rialitas ini harus menjadi sebuah catatan bagi masyarakat bahwa tanggungjawab penegakan hukum tidak sekedar dijadikan sebuah issue kepentingan politik sesaat. Oleh sebab itulah, penataan dalam upaya penegakan hukum tidak bisa lagi terbatas pada penegak hukum yang berlabel PNS, selebihnya para institusi advokat sangat memberi andil bagaimana format penegakan keadilan hukum itu terwujud. Penegasan ini disebutkan dengan jelas dalam UU no. 18 tahun 2003 tentang Advokat Pasal 5 ayat (1) Advokat berstatus  penegak hukum, bebas, dan mandiri yang dijamin  oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Didalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum”  adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam penegakan hukum dan keadilan.
Kesetaraan kedudukan Advokat dengan penegak hukum lain yang diamanatkan oleh UU menunjukkan bahwa pada diri Advokat baik secara institusi maupun individu telah melekat tanggungjawab yang sama dengan penegak hukum yang lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan KPK. Jadi penulis sangat prihatin terhadap berkembangnya opini publik yang seakan-akan segala permasalahan penegakan hukum di negara ini adalah tanggungjawab Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan KPK. Kalau memang harus demikian kenyataannya, buat apa Pasal 5 ayat (1)  diamanatkan kepada Advokat? Contoh kecil ke ikut sertaan seorang Advokat dalam suramnya sejarah penegakan hukum di Indonesia adalah kasus Korupsi Gayus Tambunan, semua unsur penegak, kecuali KPK, hukum terlibat termasuk oknum Advokat itu sendiri. Untuk itu, sekali lagi penulis tegaskan bahwa penataan penegakan hukum harus dilakukan secara menyeluruh dan konprehensif. Institusi Advokat harus berani terbuka dan mau di awasi oleh lembaga eksternal dengan aturan dan kewenangan yang dapat dijadikan dasar yang kuat sehingga Advokat di Indonesia memang benar-benar terdiri dari orang-orang yang mempunyai loyalitas dan integritas yang cukup untuk menjalani tugasnya sebagai seorang Advokat. Tidak hanya semata-mata berorientasikan pada berapa jumlah “materi” yang akan diperoleh.

Penutup
Dibagian terakhir tulisan ini, penulis masih berharap penegakan hukum di Indonesia ini terus berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu keadilan hukum. Dari sekian juta penduduk Indonesia ini masih banyak orang-orang yang memiliki komitmen serta integritas yang pantas diberikan amanah sebagai penegak hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, KPK dan Advokat.


[1]. Penulis adalah: Alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang dan Koordinator Lembaga Advokasi Hukum Malang (LADHUMA). Sekarang aktif sebagai aktivis GP Ansor Kabupaten Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar