Kamis, 08 September 2011

ENAKNYA JADI KORUPTOR DI INDONESIA



Oleh:

SABUR MS, S.H.I., M.H.[1]




Enaknya jadi koruptor di Indonesia, setiap tahun besar dapat remisi…..

Di Indonesia ternyata masalah kasus korupsi masih dianggap kasus pidana biasa, bukan lagi extra ordinary. Rialitas ini tentunya sangan kontra dengan jargon pemerintahan SBY dalam semangat “perang melawan koruptor” sehinggga tidaklah heran bila masyarakat mempertanyakan komitmen pemerintahan saat ini. Bukti nyata adalah pernyataan Menkumham bahwa terpidana korupsi mempunyai hak yang sama dengan terpidana lain dalam memperoleh tunjangan “remisi”. Berarti tidak ada bedanya dong dengan terpidana “pencuri ayam” didesa-desa?
Remisi dan Free-misi
Kasus-kasus korupsi yang mengeruk dana rakyat miliyaran rupiah tidak hanya masyarakat terasa terusik dan terlukai, melainkan akan menghambat agenda yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat terbengkalai atau dilaksanakan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan pemerintah. Karena demikian,  masalah kasus korupsi sangat erat dengan rasa keadilan masyarakat. Kasus korupsi lebih dahsyat dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, jadi kurang relevan bila koruptor diasumsikan sebagai tindak pidana yang mempunyai hak sama dengan terpidana lain. Sebab dalam kasus korupsi ada hak rakyat yang sebenarnya tidak boleh dilupakan oleh pemerintah, yaitu hak penilaian secara obyektif. Obyektifitas penilaian masyarakat terhadap koruptor tentunya lebih peka daripada subyektifitas penilaian pemerintah dalam hal perlu dan tidaknya semua terpidana kasus korupsi untuk mendapatkan remisi sekalipun setengah hari. Hal ini di  karenakan masyarakat merasakan dampaknya secara langsung, berbeda dengan para pejabat yang tidak pernah hidup miskin. Kondisi pengalaman kehidupan yang berbeda ini seharusnya dijadikan dasar kuat oleh pemerintah khususnya Menkumhan dalam memberikan sebuah kebijakan. Jangan berlindung di balik Undang-undang yang kemudian terjadi saling menyalahkan dengan DPR maupun LSM yang mengkritiknya.
Hal ini diperparah lagi oleh pernyataan salah satu anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang menyebutkan bahwa pemberian remisi terhadap para koruptor tidak melukai hati rakyat. Sebagai salah satu bagian masyarakat, penulis sangat tersinggung dan hak penulis sebagai rakyat merasa turut di “korupsi” oleh oknum Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tersebut. Sebagai pejabat yang menjalankan amanah rakyat seharusnya pernyataan yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat tidak perlu diucapkan. Jadikan semangat pemberantasan korupasi sebagai ajang memperkuat barisan persatuan dengan masyarakat, agar apapun bentuk pernyataan maupun kebijakan dapat memperkuat keyakinan masyarakat terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pejabatnya.
Sebab mensejajarkan kasus korupsi dengan kasus “maling ayam” lainnya hanya bisa diterima oleh orang-orang yang masih terbelit mental korup dan buta akan penderitaan masyarakat akibat dampak dari para pelaku koruptor. Para pejabat yang demikian semestinya out dari pemerintahan karena sudah tidak layak dan terlalu prematur dalam melihat kasus-kasus pidana seperti kasus korupsi. Mereka tidak lagi memberikan remisi, tapi mereka sudah kehilangan misi (free-misi)
Remisi dan Mafia Hukum
Kata “remisi” dan “mafia hukum” adalah dua bentuk kata yang masing-masing mempunyai tujuan yang berbeda. Perbedaan tersebut dikarenakan disatu sisi bermakna penghargaan bagi para terpidana yang telah berprilaku baik selama dalam tahanan sehingga diwujudkan dengan adanya potongan masa hukuman. Sementara kata “mafia hukum” pada dasarkan digunakan sebagai terminologi terhadap segala penyelewengan yang dilakukan oleh para penegak hukum terhadap hukum itu sendiri.
Kedua terminologi diatas pada konsep dasarnya sangat berbeda dari segi tujuan. Akan tetapi akhir-akhir ini, kedua kata tersebut mulai kabur dan sulit untuk membedakan fungsi dan tujuan “remisi” dan “mafia hukum” tersebut. Kakaburan dalam konteks ini adalah karena tiadanya makanisme dan standar “remisi” yang layak dan pantas untuk diberikan kepada seorang terpidana. Hal ini akhirnya menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat dengan satu kata “remisi” pada seorang koruptor adalah tindakan yang menlukai hati masyarakat. Mengapa harus merasa terluka? Korupsi merupakan kejahatan systematis yang melebihi kekejamannya dari kasus pembunuhan yang sering terjadi. Perbandingannya terletak dari beban systematis dampak dari perbuatan korupsi yang memiskinkan jutaan masyarakat di Negeri ini, sementara kasus pebunuhan “konvensional” paling banter satu orang hanya bisa menghilangkan 1-3 nyawa orang. Rialitas ini akan menjadi sebuah taruhan bagi para pejabat dalam meletakkan kejujuran dan kesadaran terhadap dampak besar dari perbuatan korupsi sekalipun sulit untuk diharapkan mengingat pejabat Negara kita dapat dikatagorikan masuk peringkat pertama pejabat dunia paling “gengsi-an”. Seakan mengaku dan meminta maaf atas “kesalahan” terhadap statemen atau perbuatan yang nyata-nyata tidak logis dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Tapi  kenyataannya justru berlindung dibalik UU yang nota bena sebagai benda mati. Sebagai benda mati, UU tidak akan bisa bergerak seiring dengan perkembangan zaman. UU akan bisa kenyal bila hati manusia “pejabat” kanyal dan peka terhadap rialitas masyarakat. Janganlah norma yang bersifat umum kemudian ditafsirkan sebagai bentuk persamaan hak. Dimanapun, kasus “korupsi” dengan “maling ayam” tidak sama beban hukumannya. Ketidak samaan tersebut apakah relevan diperlakukan sama dalam memperoleh hadiah “remisi”? Kalau demikian, mungkinkah masih relevan untuk membedakan antara “remisi” dengan “mafia hukum” itu sendiri? Jangan-jangan kebijakan pemebrian “remisi” kepada koruptor justru akan menjadi sub bagian dari perbuatan “mafia hukum”.!
Mereaktualisasikan Konsep Remisi
Pemahaman terhadap konsep “remisi” perlu direaktualisasikan kembali. Reaktualisasi konsep tersebut sebagai upaya menempatkan “remisi” pada koridor yang dapat melahirkan sebuah standar penggunaan dengan tidak mencederai rasa keadilan masyarakat. Kansep ini setidaknya akan memuat beberapa kriteria yang melingkupi; jenis pidana (kasus), besarnya hukuman, dan  prilaku selama ada didalam tahanan.

1.      Jenis Pidana (kasus)
Untuk mendapat “remisi” hukuman, seorang terpidana harus dilihat dahulu bentuk pidana yang dilakukan. Klarifikasi suatu kasus pidana pada seorang terpidana akan lebih menjamin penerapan “remisi” kearah yang lebih obyektif dan transpsran. Karena kesamaan “hak” bagi terpidana sebagaimana dikatakan Kemenkumham, masih bersifat multi tafsir. Sebab kata “hak” tidak bisa langsung diartikan sebagai sebuah “kewajiban” melainkan masih baru bersifat fakultatif sehingga tidak dapat dibenarkan bila kemudian kata “persamaan hak” diartikan semua terpidana wajib mendapatkan “remisi”.
2.      Besarnya Hukuman
Besarnya hukuman erat kaitannya dengan bobot pelanggaran pidana yang dilakukan seseorang. Seorang Koruptor tentunya tidak sama hukumannya dengan Pencuri Ayam kecuali hakimnya sudah pikun. Perbedaan jenis pidana tersebut juga menyangkut dengan “hak” orang banyak. Maling ayam kemungkinan hanya menyankut dengan 1-5 orang, sementara Koruptor berkaitan dengan jutaan hak masyarakat. Untuk itu tentu sangat tidak logis bila persamaan hak dalam memperoleh “remisi” diberlakukan juga bagi para koruptor yang nota bena memakan uang masyarakat banyak.
3.      Prilaku Ditahanan
Tidak diabaikan bahwa prilaku selama ada di tahanan bagi Terpidana sebagai salah satu indikasi sebagai refleksi penyeselan terhadap apa yang mereka lakukan. Akan tetapi, berprilaku baik didalam tahanan tidak bisa dijadikan alasan kuat, terlebih para koruptor, untuk memberikan “remisi”. Karena prilaku baik dalam tahanan belum tentu sepadan dengan tindakan korupsi yang melibatkan uang masyarakat sehingga masyarakat sendiri terjerumus pada jurang kemiskinan dan semakin banyaknya keterputusan anak sekolah.
Kriteria diatas hanya sebagian dari upaya meluruskan kembali tentang konsep serta implementasi “remisi” yang selama ini masih dipertanyakan. Sebab pada dasarnya, implementasi konsep “remisi” wajib memperhatikan ke adilan hukum, bukan keadilan norma sebagaimana dipahami selama ini. Keadilan hukum adalah keadilan yang mencerminkan adanya penempatan serta pemilahan sebuah kasus, mempertimbangkan suara rakyat yang kemudian baru ketentuan norma hukum (sebagai benda mati). Bila hal ini dapat dikaji secara matang dan sistematis, maka implementasi “remisi” yang diamanatkan UU Kemasyarakatan akan dapat memenuhi apa yang disebut “keadilan masyarakat” atau keadilan hukum.
Jadi sangat ironis apabila Negara ini sebagai Negara Hukum tetapi tidak bisa memberikan keadilan pada rakyatnya. Jangan sampai Negara Hukum yang dijadikan dasar oleh Negra ini justru merefleksikan diri sebagai Negara Rimba karena ketidak becusan pejabat-pejabat yang membidangi hukum.
Penutup
Sebagai akhir dari tulisan ini, mari kita pahami hukum secara obyektif dan konprehensif agar dapat tercapai apa yang sebenarnya dicita-citakan dalam proses pembentukan hukum itu sendiri. Penulis sarankan, para pejabat penegak hukum agar mampu menterjemahkan tujuan substansi hukum yang sebenarnya. Jangan mau terjebak oleh ketentuan norma yang bertentangan dengan asas keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat.



[1]. Alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang, Ketua Umum DPP Ikatan Alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum (IKAPMI) dan Koordinator Lembaga Advokasi Hukum Malang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar