Jumat, 26 Agustus 2011

“SAKERA” DAN MASA DEPAN PENEGAKAN HUKUM



Oleh:

SABUR MS, S.H.I., M.H.[1]

 

Mayarakat ada yang mengatakan “bosan” dengan debat dan berita tentang potret hukum yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Debat dan pemberitaan terkait dinamika penegakan hukum di tanah air hanya berputar dalam wacana tetapi sulit menyentuh terhadap rialitas yang diharapkan masyarakat. Timbul sebuah pertanyaan, ada apa dan dimana letak kesalahan Negara Hukum ini? Mungkinkah “SAKERA” harus turun memimpin Negara ini?
Semua Terbelenggu
Penulis ingat dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. H. M. Mahfud MD, bahwa penegakan hukum di negara ini sangat sulit untuk berjalan sebagaimana harapan masyarakat. Karena semua kasus kakap yang terjadi ada saling keterkaitan antara tersangka dan penegak hukum itu sendiri. Artinya antara satu sama yang lain sama-sama memiliki kartu As yang siap dibeberkan. Kalau hal ini terjadi, perdebatan atau kritik apapun bentuknya hanya akan selesai di meja dan kolom-kolom opini baik di koran maupun di majalah. Untuk mengurai mata rantai tersebut, tidak mungkin hanya diatasi dengan sebuah perdebatan maupun tulisan-tulisan di media, melainkan memerlukan “sakera” pemimpin yang kuat, dan bersih dari semua bercikan kotoran. Pemimpin yang bebas dari bercikan comberan ini harus terjadi pada semua jajaran mulai dari pusat sampai daerah agar program-program pemerintah pusat dibidang penegakan hukum dapat di laksanakan didaerah. Ini mungkin salah satu poin dari program reformasi birokrasi yang harus segera di implementasikan. Karena meraknya pelanggaran hukum tidak hanya terbatas pada gemuknya birokrasi tetapi juga menyangkut komitmen dan mental moral yang dimiliki oleh para pemimpin itu sendiri. Terlebih pelanggaran hukum “korupsi” lebih halus dengan cara-cara “sutra” yang sulit di diteksi. Saking halusnya, terkadang sangat sulit bahwa apa yang dilakukan itu adalah sebuah pelanggaran hukum. Mental korup yang dimiliki oleh oknum pejabat baik pusat maupun daerah tidak sedikit “keterpaksaan” masyarakat terjangkiti hanya sekedar untuk memperoleh “bingkisan” bantuan yang sebenarnya memang haknya. Tapi rialitasnya, bentuk “bingkisan” bantuan tidak gratis melainkan ada potongan “pajak” yang berpariasi jumlahnya, mulai yang dari 5% sampai ke 50%. Tapi anehnya hal tersebut seakan dianggap wajar sehingga 99,9% masyarakat terjebak dengan pola-pola seperti itu.
Kalau sudah demikian, mungkinkah kusutnya pemberantasan korupsi di negara ini masih relevan terus diperdebatkan? Optimisme mungkin tidak perlu hilang, khususnya, bagi anak bangsa yang masih mempunyai komitmen membersihkan negara ini. Tapi sifat optimis tidaklah cukup bila tidak ada tindakan nyata dari pemimpin pemerintahan yang berjiwa “sakera” yang berani mengambil segala resiko apapun. Dulu Negeri ini sempat memiliki seorang pemimpin yang berjawa “sakera”, berani, tegas tampa kompromi pada siapapun sehingga memberikan harapan pada masyarakat akan bersihnya negeri ini dari kelompok kera putih, beliau adalah Presiden KH. Abdurrahman Wahid seorang ulama’ karismatik.
Potong Generasi
Semangkin kusutnya penegakan hukum di Negeri ini membuat masyarakat apektasi terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum yang ada, terlebih penegakan hukum sekarang masih baru “akan” ditegakan di pusat sementara di daerah-daerah masih terlihat sumir. Hal ini tidak hanya terbatas pada kasus-kasus korupsi melainkan kasus-kasus yang secara terang-terangan dapat merusak mental masyarakat.
Oleh sebab itu, apabila langkah-langkah reformasi sudah dirasa mentok maka sudah waktunya semua unsur memberanikan diri untuk mendesak pemerintah agar melakukan kebijakan “Potong Generasi Terbatas” terhadap semua aparatur pemerintah yang ada baaik pusat maupun daerah. Memang hal ini bukan pekerjaan yang mudah mengingat masing-masing kelompok politik mempunyai agenda tersendiri sehingga kemungkinan besar akan dijadikan sarana politisasi untuk menjastifikasi terhadap penentangan atas kebijakan yang ekstrim tersebut. Untuk mewujudkan Indonesia Bersih memang membutuhkan komitmen bersama antara semua kekuatan politik yang ada di DPR dan Pemerintah bila benar-benar ingin membentuk sebuah negara yang bersih dari koruptor birokrasi. Kalau tidak demikian, apapun bentuk komisi yang yang berkaitan dengan yang disebut dengan reformasi birokrasi tidak akan membawa implikasi terhadap mental oknum birokrasi yang telah tertanam mental koruptor. Realitas ini tidak bisa terbantahkan, sekalipun beberapa komisi yang akan dibentuk dalam upaya memerangi koruptor dibeberapa lembaga negara, namun kenyataannya korupsi justru semakin menggila.
Uapaya-uapaya yang telah dilakukan pemerintah saat ini, menurut penulis, perlu di reorientasikan kembali. Sebab kebijakan dalam upaya meminimalisir terjadinya korupsi telah pemerintah lakukan mulai kenaikan tunjangan pejabat sampai penataan manajemen birokrasi dengan anggaran meliaran rupiah, akan tetapi masih tetap saja korupsi semakin banyak. Jadi disini yang terjadi bukan lagi masalah tinggi rendahnya gaji aparatur pemrintah melainkan budaya korupsi telah menggerogoti hati nurani mereka. Dengan kata lain, oknum aparat kita sudah banyak yang “sakit parah” bahkan “kritis” sehingga tidak ada jalan lain kecuali “memarkir” dini agar Negara bisa mewujudkan cita-cita terbentuknya; yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Mimpi besar bangsa ini hanyalah benda mati yang tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Mewujudkan hal tersebut akan menjadi tanggungjawab bersama yang memerlukan keberanian, kebersamaan visi dan misi serta mental yang kuat agar tidak mudah tergoyahkan oleh “cumbu rayu” yang setiap saat akan datang disetiap penjuru.

Siapa Itu Sakera?
Tentunya “sakera” saat ini sudah tidak mungkin memimpin Negeri ini karena beliau telah meninggal, akan tetapi yang dapat dijadikan contoh atau teladan dari seorang “sakera” adalah keberanian dalam melawan higimoni penjajah. Karakter teguh dan nasionalisme yang beliau miliki perlu ditularkan kepada para generasi bangsa ini. Karena menjadi pemimpin Negeri ini tidak tutup kemungkinan nyawa akan menjadi taruhannya bila melakukan kebijakan ekstrim yang “mengganggu” ketenangan para koruptor Negeri ini. Yang akan menjadi pertanyaan adalah, masih adakah “sakera-sakera” di Negeri ini? Penulis jawab: Ya. Tinggal menunggu komitmen masyarakat, maukah mereka menjadi rakyat cerdas dan suaranya tidak mau ditukar dengan janji-janji calon pemimpin yang integritasnya masih dipertanyakan? 2014 sudah semakin dekat, masyarakat sudah seharusnya memulai menyeleksi tokoh-tokoh nasional yang benar-benar mempunyai integritas dan keberanian dalam membela dan menegakan kebenaran berdasarkan keadilan hukum. Untuk saat ini setidaknya sudah muncul “sakera” yang dipandang layak dan mumpuni memimpin Negeri ini untuk lima tahun kedepan dengan pola kepemimpinan yang telah dibuktikan. Beliau adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Bapak Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD, SH, telah masuk kategori sebagai “sakera” masa kini. Akan tetapi tidak tutup kemungkinan bila akan muncul “sakera-sakera” lain yang layak untuk memimpin Negeri.
Dengan demikian, tinggal bagaimana masyarakat untuk bisa sadar dan tidak mau menggadaikan suaranya hanya demi untuk kepentingan sesaat. Ini tugas semua elemen bangsa yang memiliki kepedulian terhadap kondisi labilnya rakyat agar bisa tegak dan sadar bahwa selama ini suaranya telah tersia-siakan dan telah merugikan dirinya sendiri.
Penutup
Diakhir tulisan ini, penulis terus berharap agar kondisi bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan mental para pemimpinnya. Rakyat sudah jenuh dengan perdebatan, rakyat hanya membutuhkan langkah nyata dari semua para pemangku kebijakan.


[1]. Alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang, Koordinator Lembaga Advokasi Hukum Malang (LADHUMA) dan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Ikatan Alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum (IKAPMI) Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar