Jumat, 26 Agustus 2011

Mencari Keadilan Ditengah Ketidakpastian Norma Hukum


 
Oleh:

SABUR MS, S.H.I, M.H[1]



Penulis sempat ditanyakan oleh salah satu masyarakat terkait perseteruan antar KPK dan Polri. Ternyata perseteruan dua lembaga penegak hukum juga benar-benar mendapat perhatian masyarakat yang sejatinya tidak paham apa itu hukum. Penulis sempat menjawab bahwa perseteruan yang terjadi tidak hanya sekedar permasalahan mental para penegak hukum kita akan tetapi prodak hukum yang dikeluarkan masih menyisakan masalah legalitas hukum. Seperti tumpang tindihnya norma hukum yang ada dimasing-masing Undang-undang itu sendiri. Jadi bisa dikatakan Indonesia sebagai negara hukum yang tidak adanya kepastian hukum sehingga norma hukum bisa ditegakkan menurut kepentingan bukan atas dasar keadilan hukum yang sebenarnya.
Pasal 32 KPK: Norma Hukum Tanpa Asas
Keberadaan sasas hukum jarang sekali dijadikan suatu pertimbangan bagaimana ketika prodak hukum itu akan dirumuskan. Penyusunan prodak hukum lebih cenderung mengedepankan angin politik murni, kendati prodak hukum tidak bisa lepas dari prodak politik akan tetapi tidaklah relevan bila melepaskan diri proses ilmiah yang mengatur bagaimana norma hukum itu sendiri bisa kuat dan tidak mudah dipatahkan ditengah jalan. Sekarang tidak sedikit prodak hukum mati dipersimpangan jalan, bahkan ada yang meninggal sebelum diberlakukan karena Mahkamah Konstitusi menganggap bertentangan dengan UUD 45. Kejadian tersebut tidak hanya menimpa pada satu UU saja, melainkan tidak sedikit yang bernasip naas di palu Mahkamah Konstitusi.
Potret ini akan menjadi sebuah pertanyaan, mengapa norma hukum dalam UU yang telah ditetapkan banyak yang  mati belum diterapkan? Pertanyaan ini tentunya tidak hanya bisa dijawab dengan sebuah kata-kata yang mengkambinghitamkan seseorang, akan tetapi persoalan ini semestinya menjadi suatu pelajaran bagi masyarakat bahwa membuat prodak hukum seharusnya dapat dibedakan ketika membuat kue yang hanya terfokus bagaimana menghasilkan rasa yang nikmat dan disukai konsumen. Artinya bahwa proses pembuatan prodak hukum memerlukan kajian ilmiah secara utuh sesuai dengan kaedah Ilmu hukum. Penyesuaian tersebut tentunya dalam kerangka agar terjadi kepastian hukum dan keadilan yang selama ini menjadi pertanyaan masyarakat. Contoh yang terjadi dalam norma hukum di UU tentang KPK dan norma hukum yang terdapat di KUHAP. Didalam UU tentang KPK Pasal 32 ayat 1 huruf c yang mengamanatkan bila Pimpinan KPK menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan maka akan diberhentikan. Berbeda dengan Pasal 32 ayat 1 huruf c adalah asas hukum yang terdapat dalam penjelasan KUHAP huruf c yang menyatakan bahwa “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan  dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”, hal ini juga dirumuskan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pertentangan norma hukum dan asas hukum seperti disebutkan diatas akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang seharusnya tidak perlu terjadi. Dalam perspektif Ilmu hukum, posisi asas tentunya lebih tinggi dari posisi norma. Penempatan asas yang secara hirarki lebih tinggi seharusnya dapat diterjemahkan dalam sebuah norma yang baik dan tidak bertolak belakang sekalipun hal itu dapat diargumentasikan sebagai perlakuan khusus yang biasa disebut lex spesialis. Kita akui bahwa lex spesialis merupakan salah satu kaedah dalam ilmu hukum yang diharapkan bisa menjawab dinamika hukum yang terjadi dimasyarakat, akan tetapi kaedah tersebut tentunya tidak bisa begitu saja di implementasikan dengan berlindung dibalik perspektif perlunya perlakuan khusus.
Lex Spesialis dalam Perspektif
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa lex spesialis merupakan salah satu bagian kaedah hukum yang diharapkan bisa menjawab perkembangan dinamika hukum dimasyarakat, bukan menjadi bagian ketidak pastian hukum. Tujuan ini mengisayaratkan bahwa penggunaan kaedah lex spesialis masih memerlukan pembatasan secara ilmiah sehingga keberadaannya tidak mudah dijadikan topeng yang sejatinya akan menimbulkan permasalahan hukum. Pembatasan ini merupakan suatu upaya bagaimana prodak hukum yang akan dikeluarkan benar-benar akan menjadi pelindung keadilan dan kepastian hukum di masyarakat. Untuk itu, implementasi kaedah lex spesialis diharapkan tidak hanya sebatas terhadap kasus-kasus legalistic, melainkan semua jajaran penegak Hukum harus berani menterjamahkan lex spesialis sebagai bagian upaya memerikan terobosan hukum seperti yang pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pola tafsir yang disebut sebagai “keadilan substantf”.
Paradigma hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan mengacu pada “keadilan substantf” sebenarnya dapat juga dan bahkan harus dilakukan oleh lembaga Pengadilan disemua tingkatan kendati harus bertabrakan dengan dhohir norma hukum dalam sebuah UU itu sendiri. Ketentuan tersebut dengan catatan bahwa norma tersebut telah mencidrai rasa ke adilan substantif masyarakat yang hal tersebut telah bertentangan dengan tujuan dilahirkannya UU itu sendiri. Apa dasar hukumnya? Paradigma penegakan hukum yang berorientasi terhadap sebuah keadilan hukum (bukan keadilan norma semata) adalah putusan-putusan pengadilan Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga penjaga apa yang telah di amanatkan UU 45, semua putusan Mahkamah Konstitusi setara dengan segala jenis UU.
Jadi sekarang tinggal kita kembalikan kepada semua elemen yang ada di lembaga peradilan, maukah mereka sedikit melonggarkan jeratan tali yang selama ini mengurung pola fikirnya? Ada dua hal yang mungkin bisa menjawabnya. Pertama; seorang hakim harus benar-benar mumpuni dalam permasalahan Ilmu Hukum. Kedua; seorang hakim harus mempunyai hati nurani dan komitmen yang besar dalam penegakan sebuah ke adilan hukum. Dua hal tersebut bersifat integratif yang harus terpenuhi pada diri seorang hakim, kalau tidak maka ke adilan hukum yang banyak di impikan masyarakat akan tinggal khayalan sampai usia dunia ini berakhir.

Penutup
Sebagai kata penutup dari tulisan ini, maka seorang calon penegak hukum terlebih dahulu harus disiapkan mental rohani, mental intelektual dan proses seleksi yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai integritas rohani dan intelektual yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Maka penulis usulkan; mungkin sudah waktunya pemerintah melibatkan seorang ulama’ khos dalam proses penyeleksian para calon hakim di Negeri ini agar integritas krohanian para calon hakim dapat diminimalisir.


[1]. Alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Ikatan Alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum (IKAPMI) Malang dan kader Gerakan Pemuda ANSOR Kabupaten Malang. http://saburMH.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar